Kasus Sengkon Dan Karta Tahun Berapa
Timbul Tenggelam Herziening
Mekanisme herziening sudah diperkenalkan dalam hukum acara pidana sejak era kolonial. Dalam Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan, Binziad Kadafi, pakar hukum dan akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STHI) Jentera, menyebut, pada 1847 pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Herziening van Arresten en Vonnissen dalam Reglement op de Strafvordering atau hukum pidana dan pada 1849 dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering atau hukum perdata.
“Konsep yang sebanding dengan request-civiel dalam bahasa Indonesia Rekes Sipil atau ‘permintaan untuk mengulangi pemeriksaan perkara berdasarkan alasan-alasan luar biasa.’ Akan tetapi kedua hukum acara tersebut hanya berlaku pada pengadilan bagi golongan Eropa (Raad van Justitie) dan bukan pengadilan bagi masyarakat bumiputera (Landraad),” tulis Binziad.
Setelah Indonesia merdeka, persoalan PK baru diatur dalam Pasal 15 di Undang-Undang (UU) No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perihal PK ditegaskan lagi dalam UU No. 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Selanjutnya, segala detail prosedur PK diuraikan dalam berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang dikeluarkan oleh MA.
“Tapi perkembangan selanjutnya adalah pencabutan secara formal Perma 1/1969 dan SEMA 18/1969 oleh Ketua MA Soebekti melalui Perma 1/1971. Pertimbangan utamanya, mengatur PK melalui Perma merupakan kekeliruan dan bertentangan dengan UU 14/1970 yang memandatkan PK untuk diatur dalam UU khusus,” lanjutnya.
Ketua MA berikutnya, Oemar Seno Adji, menerbitkan Perma 1/1976 tentang Pencabutan Perma 1/1971 yang sepenuhnya mencabut seluruh peraturan dan pedoman yang diterbitkan MA terkait PK. Dasar pencabutannya adalah PK belum diatur dalam UU. Rekes sipil tidak lagi dikenal dalam hukum acara. Akibatnya PK terhadap putusan perdata atau pidana yang berkekuatan hukum tetap tidak lagi dimungkinkan.
“Kekosongan hukum mengenai PK menimbulkan masalah baru, mengingat UU 14/1970 menyatakan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Begitu halnya sejak 1976 para pengambil kebijakan meremehkan pentingnya PK,” tambah Binziad.
PK baru dihidupkan kembali di masa transisi Ketua MA Omar Seno Adji seiring kemunculan kasus Sengkon-Karta diuraikan. Kontroversinya berawal dari kasus perampokan terhadap korban, H. Sulaiman dan Siti Haya, pasutri pedagang di Bojongsari, Kabupaten Bekasi, medio November 1974.
Menurut Tim Lindsey dalam artikel “Reconsidering Reform: The Supreme Court and Indonesia’s Extraordinary Legal Measure” yang termaktub dalam buku Crime and Punishment in Indonesia, Sengkon-Karta, dua petani setempat yang oleh masyarakat juga beberapa kali jadi preman, dijadikan tersangka oleh kepolisian yang menyelidiki kasusnya. Nama Sengkon dan Karta rupanya dibisikkan salah satu korban, H. Sulaiman, kepada seorang saksi yang melarikan korban ke rumahsakit terdekat kendati nyawa kedua korban tak tertolong.
“Sebuah sendal yang ditengarai milik Sengkon juga ditemukan dekat tempat kejadian perkara (TKP). Dalam penahanan, Sengkon dan Karta dipukuli polisi dan mereka dipaksa mengaku,” tulis Lindsey.
Sengkon-Karta akhirnya diajukan ke muka sidang di PN Bekasi, medio Oktober 1977. Segala bantahan Sengkon-Karta ditolak ketua majelis hakim Djurnetty Soetrisno, kendati terdapat tiga saksi yang menguatkan pembelaan kedua terdakwa. Tiga saksi itu menyatakan pada saat kejadian, Karta sedang terbaring sakit.
Kendati begitu, hakim menolak pembelaan tersebut. Dengan memprioritaskan versi kepolisian, vonis pun dijatuhkan. Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta dihukum tujuh tahun penjara.
Upaya Sengkon untuk banding ditolak. Sedangkan Karta memilih menerima vonisnya hingga putusan terhadap Sengkon-Karta sudah inkrah.
Tiga tahun lamanya Sengkon-Karta mesti mendekam di Lapas Cipinang sebelum akhirnya datang secercah harapan untuk keadilan. Tetiba pada 1980 kedua terpidana itu bersua pelaku yang sebenarnya di balik jeruji besi.
“Sewaktu Sengkon sedang sekarat di LP Cipinang, seorang narapidana bernama Gunel merasa iba. Dengan jujur dan merasa berdosa ia minta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Gunel kemudian mengaku bahwa ia bersama teman-temannya telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan Sengkon dan Karta. Pengakuan Gunel itu akhirnya diketahui media massa,” tulis advokat Bachtiar Sitanggang dalam kolom hukum di majalah Mimbar Kekaryaan ABRI edisi Maret 1997, “Hakikat Peninjauan Kembali Atas Suatu Perkara Pidana”.
Tak ayal kasus itu pun viral lagi di masanya hingga menarik perhatian Kejaksaan Agung, MA, maupun DPR. Advokat cum anggota DPR Albert Hasibuan “turun gunung” untuk memperjuangkan nasib Sengkon-Karta. Gunel sendiri disidang pada Oktober 1980 lalu divonis 12 tahun penjara.
“Waktu itu para petinggi hukum dan para pelaksana di lapangan sigap. DPR juga ikut campur tangan. Media massa berpartisipasi aktif. Akhirnya Kejaksaan Agung juga mengajukan Penangguhan Pelaksanaan Menjalani Hukuman bagi Sengkon dan Karta,” lanjut Bachtiar.
Karena tak mungkin korban pasutri Sulaiman-Siti Haya “dibunuh dua kali”, mengingat Gunel sendiri sudah divonis, maka mekanisme herziening alias PK yang sempat mati suri, dihidupkan kembali. Ketua MA Oemar Seno Adji sendiri pun menerbitkan Perma 1/1980 dengan mengacu pada Pasal 21 UU No.14/1970 sebagai tindakan sementara untuk kasus Sengkon-Karta.
“Setelah terbitnya Perma 1/1980, perkara Sengkon dan Karta diperintahkan untuk diperiksa ulang,” sambung Binziad.
Dalam pemeriksaan ulang, Sengkon-Karta dinyatakan tidak bersalah. Pada 4 November 1980, keduanya dinyatakan bebas, meski secara fisik Sengkon-Karta sudah dibebaskan lebih dulu pada 3 November dengan alasan Sengkon harus dirawat intensif di rumahsakit akibat penyakit TBC.
Kendati demikian, Sengkon-Karta tetap harus hidup dalam kemiskinan. Mengutip buku Lembaran Hitam Pengadilan di Aceh: Kasus Pembunuhan, keluarga Sengkon-Karta harus kehilangan harta benda berupa rumah dan tanah untuk mengongkosi upaya hukum mereka. Gugatan ganti rugi sebesar Rp100 juta kepada pemerintah ditolak MA.
Terlepas dari kasus Sengkon-Karta, perihal PK kembali jadi pembahasan di antara para pengambil kebijakan, mengingat Perma 1/1980 itu bersifat tindakan sementara. Baru pada 1985, PK melengkapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dengan dasar hukumnya Pasal 76 UU 14/1985. Adapun dasar diajukannya PK adalah Pasal 263 ayat 2 KUHAP.
tirto.id - Kasus pembunuhan Jessica Wongso terhadap Mirna Solihin kembali ramai setelah diulas dalam film dokumenter Netflix berjudul "Ice Cold: Murder, Coffe and Jessica Wongso", yang dinilai berbagai pihak menyimpan sejumlah kejanggalan.
Setelah Jessica divonis 20 tahun penjara di tahun 2016, tim kuasa hukum pernah mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tetapi ditolak Mahkamah Agung pada akhir 2018 lalu.
Kasus ini menuai pro dan kontra. Akan tetapi, Otto Hasibuan, selaku pengacara Jessica, ngotot kalau kliennya tidak bersalah. Atas dasar itu, Otto berencana melakukan PK lagi.
"Saya berencana untuk mengajukan PK," kata Otto ketika diwawancarai Deddy Corbuizer, tayang di YouTube pada 6 Oktober 2023.
"Kita sudah persiapkan untuk itu, dengan harapan tentunya dengan keadaan seperti ini, ada Netflix, ada masyarakat memberikan dukungan, mudah-mudahan hakim agung itu bisa melihat, bahwa ini bisa diperbaiki," lanjut Otto.
Otto menyamakan kasus Jessica dengan perkara Sengkon dan Karta pada 1974.
"Sama dengan kasus Sengkon dan Karta jaman dulu. Dulu lembaga PK itu tidak ada," lanjut Otto Hasibuan.
"Dulu ceritanya Sengkon dan Karta dihukum beberapa tahun karena dituduh membunuh. Tetapi beberapa tahun kemudian, terbukti ada orang yang mengaku membunuh korban yang dibunuh oleh Sengkon."
"Akhirnya bagaimana nasibnya Sengkon dan Karta? Dibuatlah lembaga PK, lembaga peninjauan kembali. Ditinjau kembali kasusnya Sengkon dan Karta," tegasnya.
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Pria paruh baya yang tak diketahui namanya itu berteriak saat penasihat hukum Jessica Wongso membacakan pleidoi.
Kepolisian Negara Republik Indonesia kini sudah berumur 78 tahun. Umur yang sudah terbilang matang untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Menjaga ketertiban dari berbagai macam kriminalitas juga turut menjadi tugas polisi.
Sudah banyak kasus-kasus besar yang ditangani polisi. Hasil survei Kompas periode Juni 2024 menunjukkan citra beberapa lembaga hukum, seperti Polri, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lebih positif dibandingkan dengan survei sebelumnya. Citra Polri naik 1,6 persen dan menduduki posisi kedua setelah TNI.
Walau demikian, citra polisi yang mulai membaik semenjak kasus penembakan Brigadir J hingga menyeret nama Ferdy Sambo kembali dipertanyakan oleh publik. Rentetan kasus yang mempertanyakan keprofesionalitasan polisi kian menjadi bahan perbincangan. Di antaranya adalah kala Pegi Setiawan alias Perong bebas dari status tersangka pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky di Cirebon, Jawa Barat setelah putusan sidang praperadilan dibacakan Hakim Eman Sulaeman di Pengadilan Negeri Bandung pada Senin (8/7/2024). Penetapan tersangka Pegi dianggap bermasalah dan tidak sah secara hukum.
Seperti kebiasaan yang sudah, bila mereka hendak ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang mem-bezoek Karta dan Sengkon, pagi buta, harus bangun menyiapkan nasi sebagai oleh-oleh. Kemudian berangkat pukul 06.00 WIB naik kendaraan umum dari Pondok Gede.
Karta yang semula tinggal di Kampung Cakung Payangan dan Sengkon yang bermukim di Pondok Rangon, sampai kemarin siang menghuni LP Cipinang sebagai narapidana yang dipersalahkan merampok serta membunuh Sulaeman suami-istri. Peristiwa ini terjadi tahun 1974 di Desa Bojongsari, Pondok Gede, Bekasi.
Baca juga: Mendesain Ulang Peninjauan Kembali
Ketika keduanya mulai menjalani hukuman di LP Cipinang, mereka berjumpa dengan Gunel yang masih punya hubungan darah dengan Sengkon. Gunel berada di Cipinang atas kesalahannya melakukan pencurian. Kepada Sengkon, ia mengaku sebagai pelaku perampokan di Bojongsari dan menewaskan suami-istri Sulaeman. Bulan Oktober lalu, Gunel dan kawan-kawan dijatuhi hukuman atas kesalahannya merampok di rumah Sulaeman tersebut.
Setelah keluar putusan atas diri Gunel Cs, timbul pelbagai tanggapan dari kalangan ahli hukum, baik kalangan hakim, advokat, dan sebagainya. Umumnya menginginkan agar Karta dan Sengkon dikeluarkan dari lembaga, sambil menunggu upaya hukum terbaik untuk “memperbaiki” putusan yang menyatakan mereka bersalah.
Berita bebasnya Sengkon dan Karta dengan judul "Sengkon dan Karta Bebas" yang terbit di Harian Kompas, edisi Rabu, 5 November 1980.
Tanggal 3 Nopember 1980 lalu, Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Artomo Singodiredjo SH mengajukan permohonan kepada Kepala LP Cipinang minta “schorsing” pelaksanaan hukuman bagi Karta dan Sengkon. Diuraikan bahwa Kejaksaan berusaha mencari upaya hukum atas kekeliruan tersebut. Sambil menunggu upaya tadi, Karta yang dijatuhi hukuman 7 tahun dan Sengkon 12 tahun dimohon dapat dikeluarkan dahulu dari lembaga dengan status “schorsing” menjalani hukuman.
Permohonan itu dikabulkan oleh Jaksa Agung Ali Said SH, yang mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung dengan maksud yang sama.
Permohonan dikabulkan
Drs. R Soegondo, Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan, menjelaskan kepada pers kemarin siang bahwa setelah permohonan dibahas oleh Dewan Pembina LP Cipinang segera diteruskan ke pusat. Dirjen Pemasyarakatan mengabulkan permohonan dengan pengertian bahwa pidana atas diri Karta dan Sengkon bukan berarti hapus.
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi menjawab pertanyaan wartawan mengatakan, langkah yang ditempuh sekarang ini merupakan “penundaan”. Bukan menghapus putusan Hakim yang sudah berkekuatan pasti, sambungnya. Putusan itu tetap berlaku sampai sekarang sambil menunggu upaya hukum yang akan ditempuh untuk membebaskan kedua narapidana tadi, demikian Artomo.
Sementara itu, Mahkamah Agung kemarin siang juga mengeluarkan siaran pers yang menegaskan bahwa permohonan Jaksa Agung tentang diri Karta dan Sengkon dikabulkan. Persetujuan Mahkamah Agung ini adalah merupakan hasil pembahasan dengan Departemen dan Kejaksaan Agung. “Sambil menunggu upaya hukum formal yang akan ditempuh menyetujui penghentian sementara dari menjalani hukuman kedua terhukum tersebut”.
Karta sampai di rumahnya di Pondok Rangon, Jakarta Timur, 4 November 1980, usai terbebas dari penjara
Karta dan Sengkon sampai jam 12.00 kemarin belum mengetahui tentang “nasib baik” yang datang pada diri mereka. Pagi harinya kedua narapidana tersebut dikunjungi Dirjen Pemasyarakatan, Ibnu Susanto SH. Pejabat tinggi ini tidak memberitahu tentang “pembebasan”, juga tidak mensyaratkan sesuatu kepada Karta dan Sengkon. Ia hanya pesan agar “baik-baik saja”.
Istri Karta dan Sengkon beserta beberapa anggota keluarga yang “membezoek” kemarin mendadak jadi gembira sekali memperoleh pemberitahuan bahwa Karta dan Sengkon akan dikeluarkan dari lembaga.
Mukanya segar berseri-seri, Karta cepat-cepat berganti pakaian. Sengkon yang dirawat di rumah sakit di dalam LP Cipinang segera ditolong para perawat berganti pakaian. Jam 14.10 mereka diajak keluar tembok. Karta naik colt sedangkan Sengkon diangkut dengan ambulans. Hampir-hampir Sengkon tak sadarkan diri.
Baca juga: Ketika Koruptor Ramai-ramai Ajukan Peninjauan Kembali
Kendaraan yang membawa mereka beriringan menuju Bekasi. Sebenarnya, untuk mencapai rumah Karta maupun Sengkon bisa memintas lewat Lobang Buaya terus Pondok Gede, dan dari daerah ini tinggal sekitar 3 kilo ke arah selatan. Tetapi, karena Sengkon harus diopname, maka mereka ke RSU Bekasi dulu. Di rumah sakit itulah Sengkon “didrop”, lalu para petugas Kejaksaan bersama petugas dari lembaga melanjutkan perjalanan ke Pondok Rangon mengantar pulang Karta.
Karta terpaksa “pulang” ke rumah orangtua angkatnya di Kampung Pondok Rangon, sebab rumah dan tanahnya sudah habis dijual buat biaya hidup anak bininya selama ia berada di lembaga. Ketika pers bertanya mau pulang ke mana, Karta agak kebingungan menjawab “belum tahu mau pulang ke mana”. Akhirnya ke rumah engkong Leget di Pondok Rangon itulah petugas mengantar Karta “pulang”.
ilustrasi. Hakim berdiskusi dengan jaksa saat persidangan permohonan peninjauan kembali yang diajukan narapidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (27/7/2020).
Setelah rumah dan tanahnya terjual, keluarga Karta ikut ibunya ke Kampung Bojongsari. Tetapi, baik Karta maupun Sengkon selama menjalani hukuman telah menitipkan keluarga kepada kakek tersebut. Bahkan kalau ada kesulitan, Leget yang ikut memecahkan bersama Nadi, adik Karta.
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi mengantarkan sendiri ke rumah sakit serta meminta agar dokter merawat Sengkon baik-baik. Semua biaya akan ditanggung Kejaksaan. Bekas “jawara” dari Bekasi yang kini sakit TBC itu sebetulnya ingin segera pulang ke kampung halamannya di Pondok Rangon. Rumah Sengkon hanya sekitar 50 meter dari rumah Leget. Tetapi, Artomo mengatakan bahwa Sengkon perlu dirawat dulu sampai sembuh.
Selesai diperiksa keadaan kesehatannya, Sengkon diangkut ke kamar rawat. Ia tampak gembira sekali. Sambil duduk, Sengkon meminta jeruk pada isterinya. “Ini ada uang,” tuturnya sambil menyodorkan satu lembar ribuan. Katanya, uang itu diperoleh dari narapidana Bandi yang sekamar dengannya.
Baca juga: Pintu Masuk Koruptor Peroleh Hukuman Ringan
Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi memberi sumbangan Rp 20.000 kepada isteri Sengkon, Tuni. “Berdoalah kepada Allah,” kata Artomo. Tuni dinasehati agar tetap tenang, tak usah gelisah.
Ketika rombongan tiba di Pondok Gede mengantar Karta, Tripida Kecamatan setempat menyambut di kantor Kelurahan Jatiluhur bersama masyarakat. Camat dalam kesempatan tersebut mengucap syukur atas kembalinya Karta dan Sengkon. Kepada masyarakat yang berkerumun, Camat bertanya apakah mau menerima kedatangan kedua warga itu? Masyarakat menjawab serentak, “Bersedia”.
ilustrasi. Hakim Ketua Mulyadi yang memimpin jalanya persidangan peninjauan kembali untuk kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, di Pengadilan Jakarta Utara (eks Pengadilan Jakarta Pusat), Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat, Senin (26/2).
Pertanyaan ini mungkin dimaksudkan untuk “mendamaikan” dan mengembalikan suasana kekeluargaan. Sebab, Karta dan Sengkon dahulu ditangkap setelah ada “surat pernyataan” masyarakat yang menghendaki kedua orang itu ditangkap dan diusut sebagai pelaku perampokan di rumah Sulaeman.
Jam 18.10, rombongan pengantar Karta tiba di rumah kakek Leget. Ibu angkatnya terkejut mengetahui Karta pulang. Ia merangkul erat sekali sambil mengucurkan air mata.
Baca juga: Baiq Nuril Ajukan Peninjauan Kembali
Harapan Ketua Mahkamah Agung
Ketua Mahkamah Agung Prof Oemar Seno Adji SH kemarin siang menerima Albert Hasibuan SH di ruang kerjanya. Anggota DPR (Komisi III) tersebut menghadap Ketua Mahkamah Agung setelah mendengar bahwa Karta dan Sengkon akan dikeluarkan dari lembaga.
Albert-lah yang akhir-akhir ini giat mengumpulkan data dalam usahanya mencarikan upaya hukum untuk membebaskan Karta dan Sengkon. Kemarin siang menurut rencana ia akan menghadap Jaksa Agung. Tetapi niat ini urung karena Jaksa Agung ada acara lain.
Ilustrasi. Korban pelecehan seksual Baiq Nuril bersama anaknya, Rafi sujud syukur saat anggota DPR secara aklamasi menyetujui pemberian amnesti terhadap dirinya, Kamis (25/7/2019). Sebelumnya, Nuril mengajukan amnesti setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan.
Ketika menerima Albert, Prof Oemar Seno Adji didampingi oleh Hakim Agung Djoko Soegianto SH, Panitera Agung (Sekjen) Rafly Rasyad SH, dan Kepala Bagian Pidana Soedirjo, SH.
Dengan adanya kasus Karta dan Sengkon, Ketua Mahkamah Agung berharap nanti dalam Hukum Acara Pidana (HAP) yang baru (kini tengah digodok di DPR), masalah herziening, rehabilitasi, serta ganti-rugi diatur sesempurna mungkin. Sehingga, bila ada kasus serupa dengan kasus Karta - Sengkon sudah tak perlu kebingungan lagi.
Persetujuan Mahkamah Agung untuk “menghentikan sementara” bagi Karta dan Sengkon menjalani hukuman, menurut Prof Oemar Seno Adji, karena Mahkamah Agung dan aparat bawahannya juga mempunyai fungsi sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk masalah dan fungsi ini pun ia berharap HAP yang baru nanti mengatur sebaik-baiknya. (sha/tsp/amd)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.
DELAPAN tahun sudah berlalu, kasus Vina Cirebon belum juga tuntas. Kasus “terlupakan” itu baru bikin heboh setelah dibuatkan film Vina: Sebelum 7 Hari. Lika-liku pengusutan kembali kasusnya menyajikan pada publik soal amburadulnya penegakan hukum, mulai dari salah tangkap Pegi Setiawan hingga rencana para terpidananya untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Kasus yang merenggut nyawa sejoli remaja Vina Dewi Arista (Vina) dan Rizky Rudiana (Eky) pada 27 Agustus 2016 tersebut mulanya melahirkan delapan terdakwa. Tujuh terdakwa lantas divonis hukuman penjara seumur hidup dan satu terpidana yang saat disidang masih di bawah umur, Saka Tatal, divonis delapan tahun penjara meskipun kini sudah menghirup udara bebas.
Secara tidak langsung, sidang praperadilan Pegi Setiawan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 8 Juli 2024 yang membuatnya terbebas dari status tersangka pelaku pembunuhan Vina, membuka harapan bagi delapan lainnya. Melalui kuasa hukum masing-masing, Saka Tatal dan tujuh terpidana lain yang merasa bukan pelaku berniat mengajukan PK.
Kasus Vina pun mengingatkan wartawan senior Karni Ilyas akan kasus serupa. Pada 1970-an, terjadi suatu peradilan sesat yang akhirnya memenjarakan dua petani, Sengkon dan Karta.
“Tiba-tiba tahun 1980 ada terpidana kasus lain, Gunel yang juga dipenjara di (Lapas) Cipinang. Dia menceritakan kepada Sengkon dan Karta bahwa sebenarnya dialah yang membunuh H. Sulaiman. Cerita ini saya bawa ke Ketua MA (Mahkamah Agung) Pak Mudjono dan dia kaget dan kemudian datang ke Cipinang,” kenang Karni saat membuka gelar wicara “Kasus Vina & Eky: Penegakan Hukum Amburadul? Dede Mengakui Kesaksiannya Palsu!” di akun Youtube Indonesia Lawyers Club, Kamis (25/7/2024).
Kasus Sengkon-Karta menghidupkan kembali herziening atau lembaga Peninjauan Kembali. Berkat PK itulah Sengkon dan Karta yang tidak bersalah akhirnya bebas dari penjara.
“Lembaga (herziening) itu sudah dipingsankan oleh Ketua MA sebelumnya, Prof. Soebekti (1968-1974) dan Pak Mudjono menghidupkan kembali lembaga itu yang belakangan diubah namanya menjadi lembaga Peninjauan Kembali. Saat itu (kasus Sengkon dan Karta) saya bilang sebagai peradilan sesat dan apakah yang sekarang (kasus Vina) ini sesat lagi? Inilah yang akan diuji di Peninjauan Kembali oleh para terpidana yang dimulai oleh Saka Tatal,” lanjutnya.
Kasus Sengkon dan Karta: Cikal Bakal Peninjauan Kembali di Indonesia
Kasus Sengkon dan Karta: Cikal Bakal Peninjauan Kembali di Indonesia
Kasus Sengkon dan Karta terjadi pada tahun 1974. Petani asal Bojongsari, Bekasi itu dituduh menjadi pelaku perampokan dan pembunuhan pasangan suami istri Sulaiman dan Siti Haya.
Sengkon dan Karta sempat mengelak dan tidak mau mengakui sebagai pelaku pembunuhan. Akan tetapi, lantaran tidak kuat dengan siksaan selama interogasi, mereka akhirnya menyerah.
Setelah melewati persidangan pada 1977, hakim menilai Sengkon bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara 12 tahun.
Sedangkan Karta diganjar 7 tahun atas kasus yang sama. Mereka mendekam di penjara LP Cipinang.
Selama menjalani hukuman, Sengkon dan Karta justru bertemu dengan tahanan lain, Gunel dan masih terbilang mempunyai hubungan saudara.
Gunel lalu mengaku sebagai pembunuh Sulaiman dan Siti bersama 3 rekannya (N, E, dan W), hingga menjelaskan kronologi kejadian.
Berangkat dari pengakuan tersebut, Gunel dan kawan-kawan kemudian ditetapkan menjadi pelaku perampokan dan pembunuhan sebenarnya pasangan Sulaeman-Siti Haya. Ia dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
Atas dasar itu, Sengkon dan Karta lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Mereka resmi bebas pada 4 November 1980, sekaligus menandai adanya sistem PK dalam peradilan di Indonesia.
Kontributor: Beni JoPenulis: Beni JoEditor: Alexander Haryanto